Selasa, 30 Oktober 2012

Sejarah KOPAJA Bag.3


Berwisata Hati


Bismillahirrahmanirrahim

Ini tentang perjalanan di tengah terik matahari dan titik hujan yang menyisakan api kepedulian.

Hari ini, saya memiliki agenda pertemuan dengan KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan). Pertemuan di Blok M kali ini merupakan pertemuan ketiga saya dengan teman-teman seperjuangan yang memiliki secuil kepedulian terhadap saudara-saudara kami yang ada di jalanan. Di Masjid Nurul Iman Blok M Square, kami membahas sejumlah persiapan untuk bakti sosial yang sudah saya siapkan dari rumah.

Singkat cerita, setelah membahas hampir seluruh persiapan bakti sosial dan melaksanakan shalat zuhur, kami melanjutkan ke agenda kedua, yaitu menyurvei tempat anak jalanan yang hendak menjadi sasaran kami. Cukup pening awalnya. Hehe, karena saya harus berkali-kali menelepon seorang kawan untuk menanyakan lokasi anak jalanan dekat Blok M. Setelah cukup lama berputar Blok M dan memutar kepala agar pertemuan kami tidak sia-sia, kami memutuskan untuk langsung ke wilayah anak jalanan tersebut tanpa menunggui mereka di tempat tongkrongan mereka.

Perjalanan kami lanjutkan ke tempat sasaran. Hehe, bermodal nekad (karena tak ada satu pun dari enam orang yang hadir yang tahu di mana letak kampung pemulung yang hendak kami datangi). Saya dan yang lainnya menuju kawasan Gandaria City menggunakan metro mini. Kira-kira setengah jam perjalanan kami baru sampai di samping Gandaria City.

Seperti yang tadi sudah saya bilang, tak ada satupun di antara kami yang tahu di mana tepatnya kampung kumuh yang dimaksud seorang teman kami yang bernama Aris. Um, meski saat itu matahari benar-benar sedang membelalak ganas, kami tetap berusaha mencari tahu di mana letak kampung pemulung ini. Alhasil, setelah bertanya-tanya kepada beberapa orang tibalah kami di suatu daerah yang benar-benar membuat saya tidak mampu berkomentar apa-apa.

***

Sebuah pusat perbelanjaan yang cukup megah menjadi patokan kami untuk menemukan kampung pemulung tersebut. Kami berjalan bersama asap kendaraan yang menjejali Jakarta hingga ke sebuah apartemen mewah yang bersebelahan dengan pusat perbelanjaan yang tak kalah mewahnya. Sebuah jalan panjang terbentang di depan apartemen itu. Ini bukan jalan menuju pintu masuk apartemen! Ada pagar tinggi yang membatasi jalan masuk apartemen yang biasa dilewati mobil-mobil bergengsi dengan jalan yang menjadi tapakan kaki-kaki tak beralas.

Kami berjalan hingga sebuah percabangan jalan. Ini masih di areal aparteman. Sedikit terkejut. Pemandangan kontras hinggap di pengelihatan kami. Percabangan yang kami pilih untuk meneruskan perjalanan kami adalah jalan setapak yang becek dan penuh tumpukan sampah di kanan kiri. Sebuah pemandangan yang “bikin geli” ketika saya mendongakkan kepala ke arah kanan dan melihat gedung apartemen yang bersih gagah terpancang.

Di jalan setapak ini, kami masih meraba perjalanan kami. Kami masih bertanya-tanya ke beberapa orang letak kampung pemulung yang dimaksud oleh Aris. Kurang dari sepuluh menit memasuki perumahan kumuh yang terselip di antara apartemen itu, akhirnya kami menemukan apa yang kam cari; kampung pemulung. Sebuah tanah lapang yang lebih mirip dengan tempat pembuangan sampah, kira-kira begitulah gambarannya. Di sana memang banyak sampah-sampah yang masih berguna, seperti kadus, plastik, besi, dan berkarung-karung hasil pulungan lainnya.

Satu lagi. Saat itu saya disajikan satu pemandangan yang sungguh mengcampuradukkan rasa di hati. Ada sedih, geram, dan benci. Di hadapan saya terpotret keadaan yang sangat tidak wajar. Sebuah aparteman megah bersanding dengan rumah-rumah yang lebih mirip penampungan sampah.

“Kok mereka bisa ya tidur nyenyak di apartemen itu? Bukannya dengan sekali melihat dari jendela apartemennya mereka bisa langsung tahu kondisi ‘tetangga’ mereka?” gumamku dalam hati.

Tapi entah apa yang sudah terjadi. Kondisi seperti ini justru seperti menjadi hal yang biasa saja bagi para penghuni kampung pemulung, pun itu bagi warga sekitar yang dari nampak rumahnya jelas bisa dikatakan mapan.

Entahlah. Seperti ada yang salah dalam pikiran orang-orang yang ada di sekitar saya saat itu. Mengapa mereka tega? Mengapa mereka bisa membiarkan keadaan dekat mereka seperti ini? dan sejumlah pertanyaan tak menerima fenomena di depan mata muncul bertubi-tubi dalam kepala. Entahlah. Seperti ada yang salah dalam hati orang-orang yang ada di sekitar saya saat itu, apalagi dengan hati orang-orang kaya yang ada di apartemen yang baru saja saya lewati. Ada yang tidak berfungsi!; Mata dan hati mereka, itu kata hati saya.

Ah, saya lebih sedih lagi ketika dengan cepat pikiran saya yang lain mengatakan, “Mungkin Tuhan telah mengunci hati mereka dan membutakan mata mereka, tapi mereka tidak tahu.” Ah, na’uudzubillah! Dan dikuncinya hati adalah satu Kehendak Allah yang paling saya takutkan. Betapa nikmat-nikmat seakan tercabut ketika saya mengandaikan diri sebagai seorang yang dikunci hatinya.

Oh iya, satu hal yang saya percayai adalah kepekaan mata justru diukur ketika mata kita terpejam. Dengan kata lain, pengelihatan tak sekadar sebatas pada mata, tapi juga sampai ke satu titik yang tersembunyi bernama hati. Dalam perjalanan seharian ini, saya mendapatkan banyak pengalaman yang sangat berharga. Dan, saya harus menyadari bahwa sepertinya saya pun kurang peka. Karena ternyata, sebelumnya saya selalu melewati wilayah kampung pemulung yang terhimpit gedung-gedung megah setiap hendak ke UIN. Ini baru saya sadari saat perjalanan pulang. Oleh karena itu, saya menganggap perjalanan ini sebagai berwisata hati.

Lantas, apa yang perlu dikoreksi? Hati. Kata seorang ustzad yang saya kenal, adalah tanda matinya hati ketika seseorang tidak bergerak hatinya ketika melihat satu hal yang menyedihkan. Semoga kita termasuk dalam bagian orang-orang yang masih dihidupkan hatinya. Amin.(*)

Ini adalah kisah pencarian tempat binaan KOPAJA. Tempat ini sampai sekarang menjadi ladang amal kakak-kakak KOPAJA untuk berbagi cinta menuju cita-cita adik-adik Pemulung.



*Penulis adalah penggagas KOPAJA

0 komentar:

Posting Komentar