Berwisata Hati
Oleh: Lisfatul Fatinah Munir*
Bismillahirrahmanirrahim
Ini
tentang perjalanan di tengah terik matahari dan titik hujan yang menyisakan api
kepedulian.
Hari
ini, saya memiliki agenda pertemuan dengan KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan).
Pertemuan di Blok M kali ini merupakan pertemuan ketiga saya dengan teman-teman
seperjuangan yang memiliki secuil kepedulian terhadap saudara-saudara kami yang
ada di jalanan. Di Masjid Nurul Iman Blok M Square, kami membahas sejumlah
persiapan untuk bakti sosial yang sudah saya siapkan dari rumah.
Singkat
cerita, setelah membahas hampir seluruh persiapan bakti sosial dan melaksanakan
shalat zuhur, kami melanjutkan ke agenda kedua, yaitu menyurvei tempat anak
jalanan yang hendak menjadi sasaran kami. Cukup pening awalnya. Hehe, karena
saya harus berkali-kali menelepon seorang kawan untuk menanyakan lokasi anak
jalanan dekat Blok M. Setelah cukup lama berputar Blok M dan memutar kepala
agar pertemuan kami tidak sia-sia, kami memutuskan untuk langsung ke wilayah
anak jalanan tersebut tanpa menunggui mereka di tempat tongkrongan mereka.
Perjalanan
kami lanjutkan ke tempat sasaran. Hehe, bermodal nekad (karena tak ada satu pun
dari enam orang yang hadir yang tahu di mana letak kampung pemulung yang hendak
kami datangi). Saya dan yang lainnya menuju kawasan Gandaria City menggunakan
metro mini. Kira-kira setengah jam perjalanan kami baru sampai di samping
Gandaria City.
Seperti
yang tadi sudah saya bilang, tak ada satupun di antara kami yang tahu di mana
tepatnya kampung kumuh yang dimaksud seorang teman kami yang bernama Aris. Um,
meski saat itu matahari benar-benar sedang membelalak ganas, kami tetap
berusaha mencari tahu di mana letak kampung pemulung ini. Alhasil, setelah
bertanya-tanya kepada beberapa orang tibalah kami di suatu daerah yang
benar-benar membuat saya tidak mampu berkomentar apa-apa.
***
Sebuah
pusat perbelanjaan yang cukup megah menjadi patokan kami untuk menemukan
kampung pemulung tersebut. Kami berjalan bersama asap kendaraan yang menjejali
Jakarta hingga ke sebuah apartemen mewah yang bersebelahan dengan pusat
perbelanjaan yang tak kalah mewahnya. Sebuah jalan panjang terbentang di depan
apartemen itu. Ini bukan jalan menuju pintu masuk apartemen! Ada pagar tinggi
yang membatasi jalan masuk apartemen yang biasa dilewati mobil-mobil bergengsi
dengan jalan yang menjadi tapakan kaki-kaki tak beralas.
Kami
berjalan hingga sebuah percabangan jalan. Ini masih di areal aparteman. Sedikit
terkejut. Pemandangan kontras hinggap di pengelihatan kami. Percabangan yang
kami pilih untuk meneruskan perjalanan kami adalah jalan setapak yang becek dan
penuh tumpukan sampah di kanan kiri. Sebuah pemandangan yang “bikin geli”
ketika saya mendongakkan kepala ke arah kanan dan melihat gedung apartemen yang
bersih gagah terpancang.
Di
jalan setapak ini, kami masih meraba perjalanan kami. Kami masih bertanya-tanya
ke beberapa orang letak kampung pemulung yang dimaksud oleh Aris. Kurang dari
sepuluh menit memasuki perumahan kumuh yang terselip di antara apartemen itu,
akhirnya kami menemukan apa yang kam cari; kampung pemulung. Sebuah tanah
lapang yang lebih mirip dengan tempat pembuangan sampah, kira-kira begitulah
gambarannya. Di sana memang banyak sampah-sampah yang masih berguna, seperti
kadus, plastik, besi, dan berkarung-karung hasil pulungan lainnya.
Satu
lagi. Saat itu saya disajikan satu pemandangan yang sungguh mengcampuradukkan
rasa di hati. Ada sedih, geram, dan benci. Di hadapan saya terpotret keadaan
yang sangat tidak wajar. Sebuah aparteman megah bersanding dengan rumah-rumah
yang lebih mirip penampungan sampah.
“Kok
mereka bisa ya tidur nyenyak di apartemen itu? Bukannya dengan sekali melihat
dari jendela apartemennya mereka bisa langsung tahu kondisi ‘tetangga’ mereka?”
gumamku dalam hati.
Tapi
entah apa yang sudah terjadi. Kondisi seperti ini justru seperti menjadi hal
yang biasa saja bagi para penghuni kampung pemulung, pun itu bagi warga sekitar
yang dari nampak rumahnya jelas bisa dikatakan mapan.
Entahlah.
Seperti ada yang salah dalam pikiran orang-orang yang ada di sekitar saya saat
itu. Mengapa mereka tega? Mengapa mereka bisa membiarkan keadaan dekat mereka
seperti ini? dan sejumlah pertanyaan tak menerima fenomena di depan mata muncul
bertubi-tubi dalam kepala. Entahlah. Seperti ada yang salah dalam hati
orang-orang yang ada di sekitar saya saat itu, apalagi dengan hati orang-orang
kaya yang ada di apartemen yang baru saja saya lewati. Ada yang tidak
berfungsi!; Mata dan hati mereka, itu kata hati saya.
Ah,
saya lebih sedih lagi ketika dengan cepat pikiran saya yang lain mengatakan,
“Mungkin Tuhan telah mengunci hati mereka dan membutakan mata mereka, tapi
mereka tidak tahu.” Ah, na’uudzubillah! Dan dikuncinya hati adalah satu
Kehendak Allah yang paling saya takutkan. Betapa nikmat-nikmat seakan tercabut
ketika saya mengandaikan diri sebagai seorang yang dikunci hatinya.
Oh
iya, satu hal yang saya percayai adalah kepekaan mata justru diukur ketika mata
kita terpejam. Dengan kata lain, pengelihatan tak sekadar sebatas pada mata,
tapi juga sampai ke satu titik yang tersembunyi bernama hati. Dalam perjalanan
seharian ini, saya mendapatkan banyak pengalaman yang sangat berharga. Dan,
saya harus menyadari bahwa sepertinya saya pun kurang peka. Karena ternyata,
sebelumnya saya selalu melewati wilayah kampung pemulung yang terhimpit
gedung-gedung megah setiap hendak ke UIN. Ini baru saya sadari saat perjalanan
pulang. Oleh karena itu, saya menganggap perjalanan ini sebagai berwisata hati.
Lantas,
apa yang perlu dikoreksi? Hati. Kata seorang ustzad yang saya kenal, adalah
tanda matinya hati ketika seseorang tidak bergerak hatinya ketika melihat satu
hal yang menyedihkan. Semoga kita termasuk dalam bagian orang-orang yang masih
dihidupkan hatinya. Amin.(*)
Ini adalah kisah pencarian tempat binaan KOPAJA. Tempat ini sampai sekarang menjadi ladang amal kakak-kakak KOPAJA untuk berbagi cinta menuju cita-cita adik-adik Pemulung.
Ini adalah kisah pencarian tempat binaan KOPAJA. Tempat ini sampai sekarang menjadi ladang amal kakak-kakak KOPAJA untuk berbagi cinta menuju cita-cita adik-adik Pemulung.
*Penulis adalah penggagas KOPAJA
0 komentar:
Posting Komentar